Penulis: Nur Ain
Stigmatisasi itu ternyata ada di mana-mana. Bahkan sekalipun itu adalah bagian dari pers atau kerap dianggap seorang yang sangat netral sekali dalam memiliki pandangan.
Namun pernyataan barusan juga akan berujung pada stigma. Sesungguhnya setiap orang memiliki celahnya masing-masing. Tapi ada baiknya orang pers atau jurnalistik paham betul mengenai itu.
Ini mengingatkan pada salah satu saudara. Ia pernah mendapatkan hal serupa saat tengah berbincang dengan teman-temannya.
Kakaknya adalah seorang tokoh dari sebuah organisasi. Artikanlah sebagai kepala atau ketuanya. Jawaban yang dilontarkan kepadanya atas sebuah pertanyaan khusus adalah sebagaimana mestinya. Namun sangat paham sekali apa makna di balik jawabannya itu sendiri.
Ia mengatakan, dirinya adalah dirinya. Kakaknya adalah kakaknya. Tidak bisa disamakan dan tidak bisa dibandingkan.
Di balik ia mengatakannya. Ia memiliki pandangan yang amat gelisah mengenai kata-kata yang selalu dilemparkan kepadanya. Entah berkaitan dengan kakaknya ataupun ayahnya.
Ia pun tetap ingin membanggakan orang tuanya, namun tidak harus menjadi apa dan siapa di suatu hal yang sama. Ada begitu banyak jalan dan celah. Peluang dan kesempatan. Tidak harus berkaitan dengan sama yang begitu persis.
Terus apakah yang melakukan serupa dengan saudara, ayah atau turun-temurun keluarga adalah sebuah kekeliruan?
Tidak juga. Semua itu tergantung pada diri masing-masing orang. Ada yang setelah mengenalnya ia menjadi satu, ada pula yang berkebalikan. Ada karena ia telah dikenalkan dan dipahamkan dengan baik keluarganya. Maka ia mau. Ada pula kebalikannya. Ia menjadi tak suka dan tidak nyaman sekali.
Juga ada yang tak dikenalkan sama sekali namun ia berusaha mencarinya sendiri, kemudian menemukan kenyaman itu atas usahanya sendiri.