Oleh: Pravita Windi Antasa Nitria
Semakin bertambahnya usia, tentu membuat kita kian sadar bahwa ketenangan dan kebahagiaan ialah hal mewah yang kadang sukar didapatkan. Mengapa aku bilang ini adalah hal mewah? Tidak lain karena beban yang kita tanggung seakan bertambah dan masalah hidup kian rumit. Terlebih bagi kamu yang sudah menginjak usia 20 tahun ke atas. Fase di mana seseorang tengah mengalami quarter life crisis. Merasa takut, cemas, khawatir akan segala hal yang terjadi di masa depan. Takut untuk memulai, takut akan hasil yang didapatkan hingga terlalu peduli dengan apa yang orang lain katakan. Kalau kata Merry Riana sih, “Hidup itu kita yang jalanin, tapi orang lain yang komentarin.” Sebuah perkataan yang membuatku sadar, bahwa apa pun yang kita lakukan tak akan jauh dari apa kata orang.
Apakah tepat jika hidup itu tentang salah dan benar? Seakan semua hal itu hanya berwarna hitam dan putih. Tidak ada warna lain yang membuat dunia ini lebih indah dan punya banyak makna. Saat kita gagal melakukan sesuatu, maka orang yang pernah memberikan nasehat ke kita kadang berkata, “Kan sudah tak bilang nggak akan berhasil. Dikasih tahu gak didenger, kan jadi gini.” Mereka seakan mampu menebak masa depan kita. Apa mereka selalu benar? Apakah yang kita lakukan itu salah? Tentu saja tidak. Alasannya, kita tidak pernah tahu pilihan mana yang akan membawa kita menuju keberhasilan. Jika kita memilih apa yang dikatakan orang lain, itu juga belum tentu berhasil. Sehingga, dari sinilah kita belajar bahwa apa saja yang terjadi memang sudah seharusnya terjadi. Tidak perlu kita menyalahkan seseorang, keadaan atau bahkan diri kita sendiri.
Menerima, berdamai, dan tidak terlalu mengambil pusing dengan langkah yang diambil merupakan hal bijaksana yang patutnya dilakukan banyak orang. Tentu, setelah berbagai upaya dan doa yang telah dilakukan. Coba menerima apa yang sudah terjadi dan melihat apa yang mampu kita lakukan untuk terus berkembang. Lagi-lagi ini memang tidak semudah yang aku tuliskan. Semua memang selalu butuh proses. Tidak perlu berusaha mengendalikan sesuatu hal yang di luar kendali kita, tetapi pikirkan respon apa yang kita berikan terhadap sesuatu itu. Sebab respon merupakan hal yang mampu kita kontrol, sedangkan kejadian di luar kita tidak bisa.
Bagi kamu yang pernah membaca buku “Filosofi Teras”, tentu tidak asing dengan hal ini. Buku ini membahas tentang Stoikisme. Apa yang dimaksud dengan Stoikisme? Menurut Stanford Encyclopedia of Philoshopy, Stoikisme adalah filosofi hidup di mana segala sesuatu dianggap netral, sehingga yang menentukan baik, buruk, berguna/tidak sesuatu itu adalah pikiran manusia sendiri. Stoikisme sendiri merupakan Filsafat Yunani Kuno yang telah banyak diterapkan dan membuat seseorang dapat hidup lebih bahagia. Para Stoik umumnya memberikan lingkaran akan sesuatu hal yang mampu dikendalikan dan tidak. Ini yang membuat mereka lebih bahagia, sebab tidak memiliki ekspektasi berlebih akan sesuatu. Merasa cukup dan bersyukur atas apa yang meraka miliki adalah salah satu dari berbagai prinsip yang dilakukan para stoik. Untuk lebih lengkapnya, kamu dapat membaca buku “Filosofi Teras”.
Pada dasarnya, setiap perasaan yang dirasakan adalah hal yang wajar atau manusiawi. Sedih, senang, marah, kesal, kecewa, dan berbagai emosi lainnya merupakan cara kita memperoleh bahagia. Akan tetapi, itu tergantung cara kita mengekspresikan setiap perasaan itu. Selalu melakukan yang terbaik dan siap dengan hasil yang terburuk juga merupakan prinsip Stoikisme. Tentu ini juga yang diajarkan oleh agama kita, di mana setelah melakukan ikhtiar dan doa yang maksimal kita diminta supaya bertawakal.
اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Artinya: “Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin 36: Ayat 82)