Penulis: Nur Ain
April telah berlalu, dan kini telah memasuki bulan kelima, bulan Mei, sekaligus memasuki akhir bulan. Masih sah-sah saja bukan, mengamini dan menelaah perjuangan Kartini? Walaupun tidak bertepatan pada tanggal diperingati Hari Kartini, pada 14 April lalu. Tapi bukan berarti tulisan ini bermaksud untuk mengajak pembaca sekalian tak memperingati harinya.
Harinya akan selalu istimewa, juga akan selalu mengingatkan pada setiap perjuangan Kartini, juga yang terpenting untuk menjadi penumbuh awal bagi generasi emas yang masih belia. Untuk selalu ditanamkan dan diingatkan dengan perjuangan dari Kartini.
Menarik saat membicarakan Kartini. Karena pasti akan selalu dikaitkan dengan keadaan perempuan saat ini. Seperti sia-sia perjuangan Kartini. Hingga sekarang, para perempuan ingin masih diperjuangkan. Percuma Kartini memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun diminta untuk mengangkat galon saja ogah-ogahan.
Eits, jangan salah paham terlebih dahulu. Maksud dari kalimat di atas ialah bentuk dari kalimat umum yang sering terjadi saat perempuan mempunyai keputusannya sendiri tentang apa ingin dilakukannya dan tidak ingin dilakukannya. Tapi, jika perempuan mempunyai keputusan tersebut, laki-laki, tentunya juga bisa dong?
Bisa, jika selama ia merasa benar-benar kesusahan dan tidak disertai sikap suka memerintah. Maksudnya di sini. Kadang laki-laki tidak mau melakukannya dengan membawa embel-embel, sia-sia perjuangan Kartini. Diminta angkat galon saja tidak mau.
Begini, itu kan sesuatu yang ingin dilakukannya dan sudah dilakukannya. Jadi, sekalian lakukan hingga selesai. Tanpa perlu menyindir perempuan. Kecuali, jika memang lelah, atau sudah bersepekat dari awal. Mintalah bantuannya, dan kesepakatan, kalau laki-laki yang telah membeli galon bagaimana giliran perempuan mengangkatnya untuk dipasang?
Juga perlu untuk disadari bahwa, dan yang satu ini cukup penting. Bahwa kekuatan antara fisik perempuan dan laki-laki itu tidak sama. Jangan lantas mengatakan perempuan berbadan kecil itu lemah. Jangankan mengangkat galon, memundurkan sepeda dari parkiran terkadang tidak cukup kuat. Padahal, bisa saja sebaliknya. Tergantung bagaimana kegiatan atau kesehariannya. Bukankah begitu?
Tapi laki-laki juga bisa dong mengatakan hal tersebut? Kekuatan fisiknya pun tak jauh dari apa yang dialami dan dirasakan oleh perempuan.
Nah sambil mengingat dan mengulas kembali pelajaran IPA atau Biologi. Otot perempuan hanya terdiri 35 persen dari tubuh, sedangkan untuk laki-laki ototnya memenuhi 45 persen di tubuhnya. Perbedaan itulah mengapa otot laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat dibanding, dari otot perempuan. Juga dalam lemak lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Pasti sudah sangat familiar dengan keluhan-keluhan dari perempun.
Dengan pernyataan itu, selamanya perempuan akan selalu bergantung pada laki-laki atau melakukan pekerjaan yang berat kesusahan tanpa laki-laki? Tentu bukan begitu.
Seperti yang sudah tertulis di atas. Bahwa dalam keadaan atau kegiatan tertentu, pasti akan membuat perempuan melakukan apa yang di luar dugaannya.
Halnya Mbak-mbak pondok yang selalu melakukan kegiatan fisik laki-laki adalah hal yang lumrah. Karena tidak mungkin saja menunggu Kang-kang atau memanggil Kang-kang, jika keadaan genting sudah tejadi. Atau pekerjaan itu yang harus segera dilaksanakan menjadi terbengkalai.
Dalam hal ini perjuangan Ibu Kartini ialah, agar perempuan mendapatkan kesempatan yang sama seperti laki-laki. Mungkin sudah umum sekali dengan hal ini. Bahkan filmnya juga bisa disaksikan bagaimana kerja kerasnya. Yang pada waktu itu perempuan tugasnya hanya di dapur. Perempuan menjadi aib jika ia berpendidikan tinggi. Apabila hampir mencapai itu, maka penduduk desa akan beramai-ramai meminta orang tuanya segera menikahkan anak gadisnya.
Sungguh mendebarkan sekali menjadi perempuan pada masa itu.
Itulah yang ingin dilakukan oleh Kartini. Buktinya, dengan perempuan yang memiliki pendidikan, atau paling tidak memiliki pengetahuan yang baik dari sebelumnya, Akan melahirkan generasi dengan kecerdasan yang baik. Ibu paling banyak memberikan atau menyumbangkan kecerdasan bagi si anak yang dilahirkannya.
Memang hal itu tak menjamin banyak. Karena sebagian pengaruh terbesar ialah faktor lingkungan. Namun tak menutup kemungkinan pula, dari bawaan genetika akan cukup membantu banyak.
Perempuan yang berpendidikan, dan berpengetahuan luas, tak akan semenakutkan apa yang dilebih-lebihkan masyarakat. Dengan apa yang didapatnya dari belajar selama mengenyam pendidikan tinggi, akan memberikan banyak kontribusi dan pemahaman baik, juga bisa memberi arahan baik. Karena akan dengan jelas dan baik setelah mendengar tutur katanya yang lembut, sekaligus penjelesannya. Sebab tak akan perlu sulit pula untuk memahamkan, dengan pengetahuannya ia akan mengolah sebaik-baiknya.
Pun akan lebih mementingkan musyawarah dan diskusi untuk mencapai atau memutuskan sesuatu. Bukankah lebih melegakan apabila selalu mendapat tempat paling menjadi rujukan di setiap keputusannya.
Lagi pula, perjuangan Kartini tidak sesia-sia itu. Hal ini penulis buktikan sendiri pada sebuah tempat di salah satu desa di kecamatan penulis. Tepatnya akhir tahun 2021 lalu. Saat berhenti di suatu masjid, untuk menunaikan ibadah salat Maghrib. Kebetulan sambil melepas penat, penulis sekalian menunggu Isya, sambil merasakan ketenangan yang damai di masjid.
Nah saat menjelang adzan Isya ada sebuah peristiwa yang cukup mencengangkan. Yang sebelumnya penulis melihat hanya beberapa Ibu-ibu asyik mengobrol di serambi masjid. Saat tahu akan menjelang adzan. Dua Ibu mendekat ke arah bedug.
Pasti dibayangan kalian ialah, yang memukul bedug itu selalu laki-laki, dan kalau perempuan mana kuat dan suaranya tidak akan bertenaga.
Pada hari itu, tepatnya tanggal 23 Desember 2021. Hari tak akan pernah terlupakan. Mata ini menyaksikan dua Ibu-ibu itu yang bertugas memukul bedug. Dan suaranya jangan ditanya. Sangat kuat dan bertenaga.
Satu Ibu-ibu bertugas memukul kentongan, dan satunya memukul bedug. Sungguh pemandangan luar biasa. Penulis masih ingat, dan waktu itu dibuat tercengang-cengang, hampir tak berkedip. Sengaja tak diabadikan dalam sebuah potret. Kalau boleh penulis mengutip sebuah quotes, yang mengatakan, “Menikmati sebuah momen terbaik ialah dengan mengamatinya, dan menyimpannya dalam memori otak dan hati.”
Saat itulah yang sedang penulis lakukan. Dan ternyata benar. Itu lebih membekas dan tak mudah terlupakan begitu saja, bahkan tanggal dan harinya. Juga bertepatan malam sabtu.
Jadi, istilah itu bisa dijawab. Bahwa Ibu Kartini tidak sia-sia pula memperjuangkan hak wanita atau perempuan.
April, 2022