Penulis: Pak Ken
Suara mata kapak menghantam dan membelah beberapa batang pohon turi yang tumbang kemarin sore, saat hujan disertai angin kencang menyambangi kampung halaman kami. Pohon turi yang bunganya selalu dipetik oleh ibu itu akhirnya tergelatak di tanah, setelah kurang lebih 10 tahun ia terus tumbuh dan terus membesar. Mulanya, pohon turi itu tumbuh dengan sendirinya, secara alami, tidak ditanam. Pohon yang sudah menjulang setinggi antena TV itu, mengakar kuat di beranda rumah kami.
Pagi yang sudah menyetel sinar mentarinya kian panas itu, membelai lembut lengan pria berusia 72 tahun dengan kapak di tangannya. Mbah Kung, begitu biasanya saya memanggilnya. Dengan langkah yang tak terlalu akas, ia berjalan menuju pohon turi yang masih basah itu. Ia masih sempat melolos satu dua hisapan kretek yang terapit di antara bibirnya itu, dan lantas melemparkannya ke tanah.
Ia pangkasi dulu beberapa ranting kecil sebelum akhirnya memotong-motong pohon turi itu menjadi beberapa bagian. Meski sudah ringkih, untuk memotong pohon turi dengan diameter 50 cm an itu, tak perlu membutuhkan waktu lama. Tiba-tiba, tubuhnya sudah mandi keringat. Kaos yang ia kenakan pun sudah kuyup, dan ia pun melepaskannya dan menaruhnya di atas sebatang pohon yang ia potong tadi.
Mbah Kung memang sudah tak bisa lagi disebut muda, namun semangatnya seperti tak pernah termakan usia. Kini, rambut putihnya nampak berkilauan saat mentari semakin beranjak. Dengan telanjang dada, Mbah Kung meraih satu persatu potongan batang pohon turi dan kemudian menumpuknya, untuk kemudian dibelah. Ya, batang-batang turi itu dimaksudkan untuk menjadi kayu bakar.
Di sebelah bekas pohon turi itu tumbuh, terlihat beberapa potong batang kayu turi yang diunggun rapi. Tinggal membelahnya satu persatu, menjadi bagian yang lebih kecil.
Mbah Kung, menjatuhkan dirinya di tanah yang masih terlihat basah karena embun. Nafasnya sedikit tersengal, Mbah Kung memilih untuk rehat sejenak dan menyulut sebatang sigaret kesayangannya.
“Mbah, tak jupukno ngombe yo?” Tanyaku yang sedari tadi asyik scrol layar gawai.
“Yo, Le” jawabnya
Aku pun segera ke dapur dan mengambil kendi dengan penutup daun pisang yang dilinting dengan setengah berlari. Air minum kendi, kesayangan si Mbah. Meski ada air dingin di kulkas, keluarga kita sudah hafal betul, jika si Mbah tidak mau minum air yang didinginkan di kulkas atau karena es batu. Kendi adalah koentji!
Hanya beberapa kedipan mata saja, kendi sudah saya dapatkan dan lantas kuulurkan ke Mbah Kung. Tanpa berkata, Mbah Kung meletakkan sigaretnya lantas menyambar kendi yang saya ulurkan. Air yang tampak begitu segar, mengalir lewat mulutnya dan membasahi kerongkongannya. Saat air dipancurkan ke dalam mulut, terdengar suara “jeglek-jeglek…” terus menerus, dibarengi dengan jakun Mbah Kung yang sibuk turun naik menelan air itu hingga masuk ke dalam kerongkongan.
Tanpa aba-aba, saya meraih kapak yang kini tergelatak begitu saja di pinggir unggunan batang turi. Aku pun perlahan menata sebatang turi untuk bersiap saya belah. Aku posisikan tubuh sejajar dengan batang turi itu, mengambil posisi, mengayunkan kapak dan membelahnya.
Hanya butuh 4 ayunan, batang turi sebesar paha orang dewasa itu sudah terbelah menjadi dua bagian.
“Alon-alon Le, ra sah banter-banter” Ucap Si Mbah sambil beringsut dari duduknya.
Aku terus mengayunkan kapakku, dan membelah menjadi lebih kecil lagi, sampai kira-kira belahan kayu itu cukup jika dimasukkan di mulut pawon.
Keringat mulai membalur tubuhku, meski baru dua batang turi sepanjang kurang lebih satu meter an yang ku belah. Aku meraih gagang kendi Mbah Kung di atas tanah. Dan ku gerayangi sekitar, ternyata Mbah Kung Sudah tidak ada. Dan terdengar suara radio yang cukup keras terdengar dari ruang tamu.
Pasti itu mbah Kung, gumamku dalam hati.
Mbah Kung memang setiap hari tak pernah absen mendengarkan radio kesayangannya itu. Siaran RRI, sudah pasti yang didengarkan.
Peluh yang masih bercucuran di pelipis, aku biarkan berleleran terus menerus, sesaat setelah saya bantu Mabh Kung. Ya, keluargaku, memang sejak dari dulu, sebelum air mineral dalam kemasan dijual di mana-mana, lebih memilih mengonsumsi air minum yang digodok sendiri, yang airnya ditimba dari sumur tua bikinan Mbah Kung dulu. Keluarga kecilku yang terdiri dari Ibu, Bapak, Mbah Kung dan diriku, pernah dibilang keluarga yang kuno, atau lebih tepatnya senang repot dan nggak praktis sama sekali, terkait konsumsi air godok kami itu.
Sebenarnya, aku sendiri yang biasanya ikut menggodok air rebusan 5-6 ompreng setiap kali merebus, pernah menyarankan Mbah Kung, selaku paling sepuh, untuk beralih mengonsumsi air mineral kemasan. Selain lebih efektif, jika dihitung-hitung juga lebih ekonomis. Namun itu tak membuahkan hasil apa-apa.
Mbah Kung, yang tak pernah sekolah, mengklaim; jika air rebusan terasa lebih nikmat, dan ia menganggap air mineral dalam kemasan itu kurang menyegarkan. Ya, tentu anda bisa bayangkan, Mbah Kung yang notabene generas old itu juga lebih suka air yang dingin karena diembunkan semalaman atau yang diwadahi dalam kendi. Bukan air yang dingin karena es, kulkas atau mesin pendingin lainnya.
Aku sendiri tak terlalu bisa membedakan, rasa segar dan nikmat air minum godokan yang dimaksud Mbah Kung itu, jika dibanding air minum mineral kemasan. Hematku, jika sama-sama diminum saat dingin, rasanya tetap sama-sama segar dan menyegarkan.
“Urip kui Le, mung mampir ngombe” tutur Mbah Kung suatu ketika. “Mulane, banyu sing muk ombe nek iso kudu nggodok dewe, tur yo ditimbo teko sumur e dewe”
“Lha kenopo nu Mbah, kok kudu nggodok dewe? Kan, iso tuku banyu galon kae mbah, kersane luwih praktis mbah.”
“Pabrik banyu kui Le, tak kandani! Ora iso nggawe banyu dewe. Dekne mung iso nggawe galon karo botol e tok. Banyune yo ora digodok. Terus sing didol kae, banyune kui ditimbo teko sumur ndi, sumur e sopo? Njur banyune sopo kiro-kiro?”
Aku sama sekali tak paham dengan jawaban Mbah Kung. Sesaat, saya tercenung, mencoba mencari jawab. Dan sampai saat ini belum ada jawaban yang bikin sreg.
Akhirnya, aku tak terlalu memikirkannya, selain tak terlalu penting, itu juga lucu dan kadang pula buang-buang waktu.
Aku pun ikut membelah kayu bukan karena kasihan atau ingin bantu Mbah Kung, namun hanyakarena alasan olahraga. Karena, dua minggu ke depan, saya sedang libur semesteran. Lumayan.