Kabar

Petani Mandiri di Lingkar Ladang Migas

185
×

Petani Mandiri di Lingkar Ladang Migas

Sebarkan artikel ini

​Di Dusun Tanggungan, Bojonegoro, Lasmidi, seorang petani cabai, berdiri di tengah lahan seperempat hektarnya. Raut wajahnya memancarkan ketenangan dan senyum yang tulus. Tangannya menggenggam tanah yang subur—hitam, lembap, dan terasa hidup.

​“Dahulu, kami beranggapan bahwa untuk mendapatkan hasil yang baik, tanah harus diberi pupuk kimia dari pabrik,” ujar Lasmidi saat kunjungan lapangan media yang difasilitasi SKK Migas KKKS ke EMCL pada Selasa (4/11/2025). “Namun, seiring berjalannya waktu, kami menyadari bahwa cukup dengan kompos buatan tangan sendiri, biaya bisa ditekan seminimal mungkin, bahkan hasilnya pun justru lebih baik dari yang kami bayangkan.”

​Lasmidi adalah salah satu dari ratusan petani di Kecamatan Gayam dan Kalitidu, Bojonegoro, Jawa Timur, yang kini memilih jalan berbeda dalam bertani. Mereka adalah peserta Sekolah Lapangan Pertanian (SLP), sebuah inisiatif pemberdayaan masyarakat yang digagas oleh ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) bekerja sama dengan Yayasan Daun Bendera (FIELD Indonesia).

​Bagi para petani SLP, lahan mereka kini menjadi tempat belajar dan uji coba praktik pertanian yang sederhana namun berprinsip ekologis. Mereka belajar untuk tidak lagi bergantung pada pupuk kimia dan pestisida sintetis.

Baca Juga:   Berawal dari Hobi Make Up, Ini Kisah Inspiratif Rudy, Pemilik Salon Megah di Wakatobi, Sulawesi Tenggara!

​“Ketergantungan pada pupuk pabrik dulu terasa memberatkan. Syukurlah, sekarang kami diajari membuat pupuk organik cair dari bahan-bahan yang mudah ditemukan di sekitar rumah,” lanjut Lasmidi. “Selain itu, kami diajak untuk lebih peka mengamati alam. Jika ada gangguan hama, kami kendalikan dengan cara-cara alami, tanpa perlu bahan kimia yang keras.”

​Menumbuhkan Kesadaran, Mempererat Solidaritas

​Program ini sesungguhnya lebih dari sekadar urusan menanam. Ia berupaya menanamkan kembali kesadaran kolektif. Para petani diajak untuk mengingat filosofi kuno: bahwa bumi dan tanah memiliki daya hidupnya sendiri, dan tugas manusia hanyalah merawatnya dengan penuh tanggung jawab.

​Pendekatan yang merangkul alam ini telah membentuk benang merah solidaritas baru di desa. Petani tidak lagi bekerja sendirian, melainkan aktif berkelompok. Mereka saling berbagi ilmu, menukar pengalaman, bahkan bergotong royong membuat pupuk dan pestisida organik secara bersama-sama.

​Bagi Feni Kurnia Indiharti, perwakilan dari EMCL, hal ini menjadi bukti bahwa peran energi tidak terbatas pada minyak dan gas. “Harapan kami adalah dapat tumbuh bersama masyarakat di sekitar area operasi kami, yaitu Lapangan Banyu Urip dan Kedung Keris,” ungkapnya dengan rendah hati. “Kesejahteraan petani yang meningkat akan menguatkan lingkungan sosial di desa. Ini adalah wujud dari komitmen dan tanggung jawab sosial kami.”

Baca Juga:   Mbak Nur, Mantan Asisten Dosen yang Jadi Supir Bus di Amerika

​Dampak yang Menyentuh Akar Rumput

​Dampak dari program ini mulai terlihat nyata. Di delapan desa di Bojonegoro, lebih dari 600 petani kini memiliki kemandirian secara ekonomi dan ekologis. Kekhawatiran saat harga pupuk pabrik melonjak atau stok obat hama menipis kini tidak lagi menghantui mereka. Kemandirian ini telah menjadi benteng sosial di tengah berbagai ketidakpastian ekonomi yang kerap melanda desa.

​“Sekolah Lapangan ini harus kita pandang bukan hanya sebagai pelatihan, melainkan sebagai sebuah gerakan moral,” tutur Heru Setyadi, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas. “Gerakan ini bertujuan untuk menumbuhkan ketahanan ekonomi dari lapisan masyarakat paling bawah, selaras dengan cita-cita besar pemerintah untuk membangun kemandirian pangan dan energi yang berkelanjutan.”

Baca Juga:   Petani Beralih ke Pompa Air Listrik, Biaya Mengairi Sawah Lebih Irit

​Heru menambahkan bahwa inisiatif pemberdayaan seperti ini menampilkan sisi lain yang positif dari industri hulu migas di Indonesia. “Ketahanan energi tidak hanya diukur dari jumlah produksi minyak, tetapi juga dari kekuatan sosial di sekitar wilayah operasional,” ujarnya. “Saat masyarakat desa kuat, niscaya negara kita pun akan semakin tangguh.”

​Di Bojonegoro, ladang cabai yang hijau kini berdampingan dengan kilang minyak. Di balik kesibukan mesin-mesin pengeboran, para petani diam-diam sedang menyemai sebuah perubahan kecil: sebuah revolusi yang dimulai dari bawah, dari tanah yang mereka cintai, dari desa.

​Dan bagi Lasmidi, semua perubahan baik ini bermula dari satu hal yang sangat sederhana, yakni keberanian untuk kembali menaruh kepercayaan penuh pada tanahnya sendiri.

​“Jika tanah kita rawat dengan baik dan penuh kasih,” tutupnya sambil menatap hijaunya cabai, “ia pasti akan memberikan kembali berkah yang jauh melebihi apa yang pernah kita duga.”