Shirakawa-go, desa di Jepang yang diakui Unesco karena merawat budaya lokal

Gerusan revolusi 4.0 mengubah banyak sistem di masyarakat. Hampir di semua bidang terjadi disrupsi. Sekadar contoh sederhana adalah selfie yang mengaburkan makna wilayah privat dan publik. Selfie juga mengubah cara pandang orang tentang menyombongkan diri atau sekadar berbagi foto.

Dalam sistem budaya, teknologi juga mengubah banyak wajah. Sistem budaya jawa misalnya sudah banyak tergantikan dengan sistem bukan jawa. Semua dicampur aduk serupa gado-gado. Memang ada sisi positif dan sisi negatif dari perubahan tersebut. Namun tak sedikit yang kemudian mengalami kegagapan teknologi dan hanya terbawa arus perubahan saja.

Lihat saja wajah permukiman di kampung-kampung jawa, atau perumahan-perumahan modern yang banyak dibangun di daerah-daerah. Tak sedikit yang menggunakan arsitektur gaya barat. Padahal masyarakat lokal mempunyai gaya arsitektur sendiri. Misal di jawa, gaya arsitektur rumah diantaranya joglo, limasan, drojogan dan lainnya. Tapi kini tak banyak yang menyukai gaya arsitektur tersebut dengan mencapnya sebagai kuno.

Desa Shirakawa-go di Jepang

Ada baiknya kita belajar dari Desa Shirakawa-go. Mengutip dari laman ml.shirakawa-go, desa ini terletak di bagian barat laut Prefektur Gifu, Jepang. Nama “Shirakawa-go” diambil dari nama tradisional Jepang untuk wilayah yang digunakan pada zaman kuno. Desa Shirakawa-go merupakan kampung dikeliligi gunung. 96% wilayahnya adalah hutan, sementara lahan pertanian hanya menyumbang 0,4%.

Baca Juga:   Jepang Tersingkir, Pelatih dan Pemain Membungkuk Minta Maaf

Meski berada di pinggir hutan, desa ini cukup unik dengan sistem budaya yang masih kuat dibangun warganya. Di desa ini terdapat beberapa taman diantaranya Taman Nasional Hakusan dan Taman Alam Prefektur Amo, di mana alam tetap tidak terganggu selama bertahun-tahun. Tak jauh dari desa itu mengalir Sungai Shogawa.

Jejak tertua kehidupan manusia di Shirakawa-go adalah artefak yang berasal dari antara 7000 SM. dan 2300 SM. Beberapa artikel tembikar telah digali, ditemukan gambar-gambar kuno. Juga ditemukan cermin yang berasal dari sekitar 600 M, dokumen dari 700 M yang menyebutkan nama Shirakawa-go, meskipun tidak pasti.

Nama “Shirakawa-go” pertama kali muncul dengan jelas dalam sejarah sekitar tahun 1176. Nama ini diperkirakan telah digunakan secara luas pada saat itu karena muncul tertulis dalam buku harian seorang bangsawan yang tinggal di Kyoto.

Rumah-rumah di desa tersebut cukup unik. Semua bergaya ‘gassho’ yakni rumah kayu dengan atap mirip buku yang dibuka terbalik. Tipe rumah ini prototipe awal dibangun dari sekitar tahun 1700, ketika produksi sutera dan mesiu di desa tersebut berkembang selama era Edo. Desain berevolusi menjadi bentuk yang saat ini terlihat di sekitar desa sekitar tahun 1800.

Baca Juga:   Pesona wisata Puthuk Kreweng di pinggir hutan jati, kolam renang hingga arena offroad

Rumah-rumah bergaya Gassho adalah rumah-rumah yang dibangun dari balok kayu yang menopang atap jerami. Desain ini disesuaikan dengan kondisi alam di Shirakawa-go, ditandai oleh beban besar salju yang diendapkan selama hujan salju lebat.

Selain itu, semua rumah menghadap ke utara dan selatan, hal ini memperhitungkan arah angin yang dominan Shirakawa-go dan meminimalkan hambatan angin. Rumah warga menghadap utara dan selatan juga untuk mengontrol jumlah sinar matahari yang mengenai atap, untuk memberikan musim panas yang sejuk dan musim dingin yang lebih hangat.

Desain rumah bergaya gassho khas Desa Shirakawa-go/ Sumber: http://ml.shirakawa-go.org

Diakui UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia

Pada bulan Desember 1995, Shirakawa-go terdaftar sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Tak heran jika banyak wisatawan kemudian datang dan menikmati suasana tenang di desa ini. Desa ini menjadi harta karun yang tidak dapat diperbaiki, baik diproduksi secara alami  atau melalui sejarah umat manusia. Warisan ini akan dilestarikan di masa depan.

Desa ini pernah mengalami kebanjiran dan kebarakan di era sebelum 1900. Namun, mulai sekitar tahun 1940, pembangunan bendungan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga air di lembah Sungai Sho. Jumlah rumah bergaya gassho sempat terancam. Karena banyak warga yang menjualnya. Ada sekitar 300 rumah bergaya gassho pada tahun 1924, tetapi pada tahun 1961, angka itu anjlok menjadi hanya 190.

Baca Juga:   Bojonegoro siapkan Rp 10,8 miliar untuk beasiswa RPL Desa

Dengan latar belakang ini, para penghuni pemukiman bergaya gassho memulai langkah tepat. Mereka memulai gerakan untuk menyelamatkan rumah-rumah khas desa setempat. Pada tahun 1971 warga melakukan tiga hal penting. Yakni ‘tidak menjual, menyewakan dan merobohkan rumah bergaya gassho. Tiga hal itu disepakati warga demi kelangsungan sistem budaya yang sudah terbangun ratusan tahun.

Desa ini selain punya bangunan khas, ternyata juga punya sistem pemadam kebakaran yang efektif. Pemerintah desa Shirakawa-go menanam sistem kebakaran api di tengah pemukiman warga. Sistem kebakaran ini seperti semprotan air yang bisa menjangkau sekitar 400 meter. Air-air ini bersumber dari kawasan pertanian yang ada di sana.

Cara ini pernah dilakukan ketika desa Shirakawa-go mengalami kebakaran pada hari Senin (4/11/2019) lalu. Semprotan air secara otomatis keluar disekitar rumah-rumah tradisional tersebut. Dilaporkan pula bahwa tak ada korban jiwa dari insiden tersebut meski api sempat berkobar selama 2 jam.

Share