Pada 2 Oktober 2009, batik diakui UNESCO sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi. Di Indonesia sendiri, batik sudah menjadi budaya masyarakat. Sehingga, meski tanpa ditetapkan oleh UNESCO pun, batik telah menjadi identitas dan mempunyai sejarah panjang. Pengakuan UNESCO lebih memperkuat identitas itu.
Di Kabupaten Bojonegoro, batik sebenarnya sudah menjadi tradisi masyarakat. Batik-batik yang terkenal biasanya berasal dari Pekalongan, Solo dan Jogja. Oleh karena itu, Pemkab Bojonegoro, yakni Bupati Bojonegoro, Suyoto yang saat itu menjabat, tahun 2009 terinspirasi dari pengakuan batik Indonesia oleh UNESCO mengadakan lomba desain batik pada tanggal 2 Oktober 2009.
Hasilnya ada sembilan motif asli Bojonegoro yang kemudian berhasil dilaunching. Yakni motif padi (pari sumilak), motif gotro (gatra rinonce), motif daun jati (sekar jati), motif khayangan api (parang dahana mungal), motif jagung (jagung miji emas), mliwis putih, tembakau (sata ganda wangi), motif sapi (parang lembu sekar rinambat) dan wayang thengul (rancak tengul). Sembilan motif itu yang kemudian mengawali Batik Jonegoroan, yaitu batik khas Bojonegoro.
Sembilan motif batik itu dalam perjalanan waktu jumlahnya terus bertambah. Bahkan, sejumlah desa mengeluarkan desain batik sendiri. Seperti Desa Mojodeso, Kecamatan Kapas yang mempunyai desain batik payung yang jadi ciri khasnya. Batik itu dinamakan batik songsong payung. Batik itu berawal dari pelatihan batik yang diselenggarakan Balai Latihan Kerja di Balai Desa Mojodeso tahun 2017.
Selain desain batik yang menunjukkan identitas daerah seperti di atas, di Bojonegoro juga sudah lebih dulu dikenal batik jumput. Batik yang ada di Desa Prayungan, Kecamatan Sumberrejo ini sudah berdiri tahun 1990 dan bertahan hingga sekarang. Batik jumput mempekerjakan banyak karyakan. Omzetnya bisa mencapai puluhan juta dalam sebulan.
Batik Jonegoroan juga telah memberi banyak peluang usaha bagi masyarakat. Salah satunya adalah Pudji Rahayu seorang guru yang juga pengusaha. Ia menjadi inspirator bagi pelaku usaha karena dunia batik yang digelutinya. Usahanya ini berawal dari keikutsertaannya pada lomba desain batik dan kemudian meraih juara terbaik di tingkat provinsi pada 2009 lalu.
Dikutip dari laman Bojonegorokab.go.id, kisah Rahayu berawal dari pelatihan oleh Pemkab Bojonegoro, mulai dari mencanting dan mewarnai di di balai batik Yogyakarta. Ia kemudian memberanikan diri memproduksi batik. “Awalnya masih batik cap dan tulis. Karena pada produksi awal, hanya mampu membuat batik canting satu dalam seminggu,” katanya.
Usahanya kemudian terus berkembang dan mampu memperkerjakan 20 karyawan, laki-laki dan perempuan. Berbagai inovasi terus dilakukan. Kini sudah ada 16 motif batik yang diproduksi di rumah batik yang diberinama Marely Jaya, di Kecamatan Sumberejo.
Tapi, batik tak cuma mendorong pelaku usaha, tapi juga mempunyai fungsi lain. Tak hanya bagi konsumen/pembeli batik, tapi orang-orang yang berkecimpung di dunia seni batik. Fungsi tersebut sebagai seduluran. Hal itu, salah satunya diungkapkan Aris Kurniawan dari Universitas Negeri Surabaya (UNesa) yang meneliti tentang batik. Menurut dia, dalam bahasa jawa:
“Bathik Jonegoroan uga bisa didadekake piranti kanggo ngraketake pasedulurane masyarakat panyengkuyunge. Sajroning kagiyatan mbathik, para masyarakat bisa ndadekake kagiyatan iku sawijining cara kanggo kumpul karo pawongan liya lan ngomongake bab-bab sing bisa ngraketake paseduluran anatarane siji lan sijine”.
Tapi, sebenarnya fungsi batik Jonegoroan tak cuma fungsi seduluran bagi orang-orang yang memproduksi batik, tapi juga bagi warga yang mengenakan baju bermotif batik. Hal ini bisa dirasakan saat warga saat berada di luar daerah. Saat di perantauan, batik jonegoroan bisa jadi identitas dan seduluran bagi sesama warga Bojonegoro yang ada di rantau.