“Kasarannya awal itu saya memulung kain perca dari penjahut-penjahit,” terang Nurul Kholifah, owner Cussaybienna dalam kegiatan Jurnalistik Trip #3 yang digelar Mastumapel.com, Sabtu (3/5/2025) di galeri batiknya di Ds. Guyangan RT 5 RW 1 Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro.
Rumah batik Cussaybienna milik Nurul Kholifah menjadi tujuan Jurnalistik Trip kali ini. Yakni kegiatan yang diikuti mahasiswa yang ingin belajar jurnalistik dengan terjun langsung ke lapangan. Selain praktik jurnalistik, mahasiswa juga bisa mendapatkan sharing pengetahuan dengan narasumber.
Kepada para mahasiswa, Nurul yang asli warga Trucuk, bercerita, bahwa pada tahun 2007 ia hanya memiliki modal Rp 400.000. Sebesar Rp 250.000 ia gunakan membeli mesin jahit bekas, dan sisanya iya pergunakan untuk membeli kain perca di penjahit-penjahit sebagai awal modal usahanya.
Dari kain perca yang kecil-kecil itu, Nurul membutuhkan kejelian lebih tinggi hingga menjadikannya produk yang layak pakai seperti tas, dompet, sarung bantal, sarung kursi, dan bed cover. Ingatannya masih tajam, kala itu produk-produknya ditawarkan pada ibu-ibu yang sedang menunggu anak mereka sekolah di Taman Kanak-kanak.
Di tahun yang sama, Nurul mencoba mendaftarkan diri di pelatihan membatik yang diadakan oleh Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Bojonegoro. Dari awal usaha, Nurul sudah menerapkan teknik pemasaran melalui story telling.
Ada keindahan cerita pada tiap karya yang dia buat. Cerita yang memiliki ruh dan nilai tinggi pada setiap karyanya. Meski terlihat sederhana dan bermodal dari bahan daur ulang, Nurul mampu menjadikan produk-produknya unggul karena memiliki cerita yang menyentuh.
Ia menjadi satu-satunya peserta dengan modal usaha paling minim. Tanpa disadari, ia menerapkan kunci usaha mengeluarkan modal sedikit mungkin dan mendapatkan laba sebanyak mungkin.
Sejak saat itu, Nurul sangat sering menjadi pemateri pengrajin batik yang diadakan oleh Disnaker Bojonegoro hingga saat ini. Ia rutin mengikuti banyak pelatihan membatik dengan telaten, dan perlahan mengembangkan bisnis batiknya yang bermula dari konveksi kain perca.
Menggunakan Teknik Pemasaran Story Telling

Hampir setiap pameran batik, Nurul selalu ikut serta memeriahkan dengan karya-karya batiknya, baik pameran tingkat lokal, provinsi, maupun nasional. Ia banyak membuat motif-motif inovatif yang menggambarkan ciri khas Bojonegoro.
“Jika dilihat langsung, mungkin orang-orang menganggap batik ini sama seperti lainnya. Namun, ketika mereka mendengar bagaimana proses batik ini, bagaimana filosofinya, pasti langsung jatuh cinta dan membelinya,” ucap Nurul menunjuk batik-batik ecoprint dan batik tulis dari pewarna alami.
Setiap motif batik, menurut Nurul, memiliki kisah masing-masing. Cerita-cerita itulah yang menjadikan batik produksi Cussaybienna menjadi menarik. Bulan lalu saat pameran di Solo, stand Cussaybienna didatangi para dosen Universitas Gadjah Mada (UGM). Awalnya batik-batik itu tampak biasanya saja, tapi ketika Nurul bercerita bagaimana proses mendesain motifnya, filosofinya hingga prosesnya yang lama karena menggunakan pewarna alami, mereka langsung memesan dua lembar batik cap tulis warna alam seharga Rp 850.000 per lembarnya. Lalu bertambah menjadi 18 lembar.
“Waktu saya pameran di Solo, waktu itu dia biasa kalau cuman lihat produknya enggak bakal tertarik. Ketika ngobrol sama ownernya seperti apa cara pembuatannya, gimana filosofinya. Nah, itu baru tertarik,” kisahnya.
Batik cap tulis dengan warna alam dijual Nurul dari harga termurah Rp550.000. Ada yang Rp750.000 hingga Rp1.500.000.
Menurut Nurul, kunci utama pemasaran melalui story telling adalah pengrajin harus luwes bercerita kepada konsumen dan menguasai filosofi tiap motif batik. “Ketika ada pengunjung harus pintar-pintar ngobrol menceritakan wisata alam yang ada di Bojonegoro. Kemudian yang biasa saya aplikasikan di motif-motif batik atau kisah-kisah batik seperti mliwis putih itu dari kisah Bojonegoro. Barulah mulai mereka tertarik,” paparnya.
Nurul yang sudah masuk di asosiasi perajin batik tingkat kabupaten, provinsi hingga nasional, bersaing dalam memasarkan produk dengan teknik utama bercerita. “Nah, setiap event kan ngumpulmesti, para pengrajin batik kan bersaing. Tapi ya itu caranya ketika kita menarik konsumen dengan menceritakan prosesnya atau filosofinya,” ungkapnya.
Mengenalkan Bojonegoro Melalui Motif Batik
Setiap tahun, Kota Ledre memang selalu menambah koleksi motif batik. Namun, motif-motif itu sering kali dipakai kebanyakan orang. Beberapa pelanggan Cussaybienna ingin memakai batik khas yang tidak begitu familiar. Oleh karena itu, Nurul terus berinovasi untuk menghadirkan motif-motif baru yang relevan dan kekinian, tapi tetap memiliki filosofi dan menggambarkan ciri khas Bojonegoro.
Seperti batik motif jembatan Sosrodilogo yang khusus ia persembahkan untuk tanah kelahirannya Trucuk. Tidak hanya sekadar kain dengan motif jembatan, Nurul menambahkan beberapa sentuhan yang sesuai dengan kondisi dari hasil risetnya. Seperti penambahan ornamen ikan karena di bawah jembatan Sosrodilogo banyak aktivitas memancing, dan penambahan gambar perahu karena banyak masyarakat yang menggunakan transportasi perahu baik untuk berpergian, menangkap ikan maupun mengambil pasir.
Motif untuk dosen-dosen UGM pun menggambarkan tentang Bojonegoro yakni motif Kahyangan Api dan daun jati. “Saya membikinnya itu daun jati sama kayangan api. Tapi ya enggak pakem kayangan seperti ini enggak. Saya bikin yang beda,” ungkapnya.
Bagi Nurul, jika sudah terbiasa membuat baju, membuat pola batik pun lebih mudah dan tepat saat diaplikasikan. “Jadi ketika mengaplikasikan di batik, saya bikin batik berpola. Ini memudahkan penjahitnya. Nanti bagian lengan dua ada (motif). Bagian kerah ada, bagian dada ada, bagian punggung ada, sudah ada kotakan-kotakan itu. Kan rata-rata kan pengrajin asal motif gitu ya, kalau saya coba membuat yang terususun rapi,” ucapnya.
Melayani Motif Reques untuk Terus Berinovasi

Meski kebanyakan motif yang dihadirkan Nurul adalah tentang lokalitas Bojonegoro, ia tidak berpacu pada motif itu saja. Ia juga melayani request motif dari pembeli. Seperti orderan dari Bandung batik cap tulis pewarna alami dengan motif harimau putih yang pernah ia dapat.
“Kalau kita sudah terbiasa bikin batik tulis dan desain sendiri enggak kesulitan, langsung kita bikin aja. Apa yang mereka minta, alhamdulillah kita bisa. Kalau daerah Bandung itu kebanyakan harimau putih. Nah, mereka pingin motif harimau putih. Lalu saya riset tentang Bandung. Oh ternyata ada senjata tradisional kujang, akhirnya saya tambahi motif kujang kecil-kecil gitu,” terang Nurul.
Nurul juga pernah mendapat pesanan batik dengan motif khas anak muda dari para mahasiswa Universitas Brawijaya. Mula-mula, ia melakukan riset kebiasaan anak muda masa kini. “Ternyata mereka itu suka nongkrong, ngopi gitu sambil bawa laptop. Oke, saya gambar mereka. Saya aplikasikan jadi batik di punggung. Biar mudah, anak-anak muda kan enggak senang yang kayak batik-batik tua. Saya kasih sentuhan batik ciprat gitu. Sudah jadi. Jadi apa yang ada di mata ketika ada cerita-ceritanya bisa dimasukkan untuk menjadi motif. Kalau saya loh ya,” paparnya.
Riset-riset kecil yang dilakukan Nurul itulah yang membuatnya luwes untuk terus menghadirkan motif-motif baru yang kekinian dan penuh filosofi. Ia bercerita, awal mula membuat motif sendiri saat mengikuti pelatihan dari Disnaker Bojonegoro. Ia ditempatkan di Kedewan Wonocolo.
“Di sana saya lihat sumur-sumur minyak tradisional. Nah, mulai saya gambar. Saya jadikan logo. Jadi setiap apa yang identik dengan Bojonegoro dan ada kisahnya, biasanya langsung saya gambar, saya aplikasikan di blok,” ujar Nurul.
Contoh lainnya adalah motif Kampung Bengawan dan sego buwuhan juga ledre sebagai kuliner legendaris Bojonegoro. “Kisah-kisahnya itu kan beberapa ada di buku, saya baca gitu,” ucapnya.
Menggunakan Pewarna Alami yang Ramah Lingkungan
Awal kali terjun di dunia batik, Nurul yang masih minim modal belum mampu untuk membeli pewarna sintesis buatan pabrik. Ia memutar otak bagaimana mendapat warna yang bagus dan murah-meriah.
Tersedianya sumber daya alam yang melimpah seperti serabut kelapa, daun jambu, daun Ketapang, daun jati, daun mangga, daun papaya jepang, kulit manggis, kunyit dan tanaman lainnya yang bisa diproduksi menjadi pewarna batik alami. “Untuk mendapatkan pewarna alam saya biasa mulung serabut kelapa. Untuk saya olah dijadikan zat pewarna alam dengan cara dikeringkan kemudian kami rendam kami rebus menjadi warna-warna seperti batik tulis atau ecoprinting. Jadi memanfaatkan apa yang ada di sekitar karena modal saya enggak ada,” kisahnya.
“Langkah awalnya dari situ. Alhamdulillah sekarang yang bantuin ada sekitar enam, itu ada yang adik-adik spesial dari lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB). Kalau untuk jahit, membatik itu ibu-ibu rumah tangga yang ada di sekitar sini saja. Yang tadinya UD sekarang sudah jadi PT mandiri,” sambungnya.
Nama Cussaybienna yang sekarang sudah menjadi PT mandiri itu, kata Nurul, merupakan singkatan dari Cusnya (nama panggilan Nurul saat baby sister atau ibu asuh) Ayu, Obien dan Luna, yang merupakan anak asuhnya. Orang tua mereka membiayai pendidikan Nurul hingga sarjana, oleh karena itu ia mengenang mereka dengan menjadikannya nama usaha.
Ketelatenan, semangat dan kesabaran yang ulet membuat Nurul semakin berkembang dan bermanfaat untuk banyak orang. Pengalaman membatik juga menjadi hal penting yang ia syukuri karena dapat memperluas jejaring. Bahkan setiap tahun, ia turut mengikuti pertemuan pengrajin batik dari seluruh dunia. Mereka saling berbagi cerita seputar ilmu batik dengan gembira.