Usaha

Batik Daun dan Cerita Bojonegoro, Kisah Nurul Kholifah Membangun Cussaybienna

333
×

Batik Daun dan Cerita Bojonegoro, Kisah Nurul Kholifah Membangun Cussaybienna

Sebarkan artikel ini

Nurul Kholifah tidak pernah membayangkan bahwa langkah kecilnya memanfaatkan limbah perca akan membawanya menjadi pelaku usaha batik yang dikenal hingga tingkat nasional. Dari rumahnya di Desa Guyangan, Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, ia merintis Cussaybienna, usaha batik cap, tulis, dan ecoprint yang kini telah menjadi perusahaan berbadan hukum. Nurul juga aktif memberi pelatihan batik ke berbagai daerah.

“Sebelumnya saya hanya membuat barang dari perca, seperti sarung bantal dan bed cover,” cerita Nurul, Sabtu (3/5/2025) saat kegiatan Jurnalistik Trip #3. Pergaulannya dengan komunitas batik di Dekranasda Bojonegoro, kemudian membuka jalannya untuk mendalami batik secara serius. Dari situlah ia mulai belajar membuat batik dan bahkan menciptakan motif khas lokal seperti motif Jembatan Sosrodilogo.

Dulu, bagi Nurul, modal bukan hal yang mudah didapat. Karena itulah ia memilih memanfaatkan bahan-bahan alami yang tersedia di sekitarnya. Serabut kelapa, daun ketapang, daun jambu, dan daun mangga menjadi bahan dasar pewarna yang ia olah sendiri. “Saya memulung serabut kelapa, saya keringkan, lalu saya rebus jadi pewarna,” jelasnya.

Baca Juga:   Bojonegoro Ada 691 Pangkalan LGP 3 Kg

Teknik yang ia dalami adalah ecoprint, yaitu teknik mencetak daun di atas kain dengan pewarna alami. Ia menjelaskan bahwa daun-daun yang digunakan harus mengandung tanin tinggi agar warna bisa tercetak dengan baik. Tekniknya pun beragam: bisa dipukul-pukul (pounding) atau dikukus dengan metode pencerminan atau blanket. Semua diawali dengan proses mordan, yaitu merebus kain dengan tawas agar bisa menyerap warna lebih baik.

Kini punya enam karyawan

Batik ecoprint motif daun yang khas

Saat ini, Nurul tidak bekerja sendirian. Ia dibantu enam orang, termasuk adik-adik lulusan SLB yang ikut mengerjakan bagian ngeblat dan nyanting. Ia juga melibatkan ibu-ibu rumah tangga sekitar untuk menjahit. Produk batiknya dijual dengan harga bervariasi: dari Rp85.000 hingga Rp250.000 untuk pewarna pabrik, dan mulai dari Rp550.000 hingga Rp850.000 untuk pewarna alami.

Baca Juga:   Teater Lintang Giri sukses laksanakan kegiatan periangatan HUT RI dan Ambal Warsa

Pesanan datang dari berbagai kalangan. “Pernah ada guru yang pesan 250 potong batik cap, juga dosen-dosen UGM dan pejabat pemkot Surabaya yang pesan batik tulis pewarna alami,” katanya. Menariknya, pelanggan sering kali tertarik setelah mendengar cerita di balik motif batik yang dibuatnya.

Bagi Nurul, batik bukan sekadar kain bergambar. Ia selalu menyisipkan cerita lokal di setiap motif. Contohnya, gambar Khayangan Api ia tambahkan daun jati karena tempat wisata itu dikelilingi hutan jati, dan Jembatan Sosrodilogo ia lengkapi dengan gambar ikan, sesuai kondisi sungai di bawahnya. Ia bahkan menyesuaikan motif untuk anak muda, seperti gambar orang nongkrong dengan laptop, agar batik terasa lebih kekinian.

Baca Juga:   Sendang Grogoland, Keindahan Alam Tersembunyi di Bojonegoro

Ia juga tidak terpaku pada motif pakem dari pemerintah daerah. “Kalau terlalu pakem dan monoton, anak muda jadi kurang tertarik,” ujarnya. Ia menerima pesanan khusus, termasuk dari luar Bojonegoro, seperti motif maung putih dan kujang dari Bandung.

Melalui pelatihan, pameran, dan pemasaran daring di Instagram (@cussaybienna), Bukalapak, dan Tokopedia, Nurul terus memperkenalkan batik Bojonegoro ke luar daerah. Karya-karyanya pernah tampil dalam delapan pameran besar, termasuk di Grand City Surabaya, Solo, Blitar, dan Jakarta.

“Apapun yang ada di mata dan ada ceritanya, bisa jadi batik,” tutupnya.

______

* Penulis adalah mahasiswa peserta program Jurnalistik Trip #3 yang digelar Mastumapel.com